Sangu Melek Digital


 Tulisan ringkas mengenai melek digital ini, sebelumnya diterbitkan melalui media cetak di harian Tribun Jogja, Jumat legi, 4 Juni 2021. 



Melek digital merupakan dua kata yang belakangan ini banyak dibicarakan atau dituliskan di berbagai media. Perubahan aktivitas terutama semenjak pandemi Covid-19 yang  memaksa banyak kalangan memindahkan kegiatannya secara daring dengan berbasis berbagai teknologi digital. Melek sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti terjaga atau tidak tidur. Jika kata melek dirangkai dengan digital maka bisa memiliki makna yang paling sederhana yakni mampu menggunakan berbagai teknologi digital untuk menunjang aktivitas keseharian. Makna tersebut harus diperluas lagi jika frasa tersebut ini dikaitkan dengan program literasi digital nasional yang diluncurkan pemerintah di akhir bulan Mei 2021 lalu. Program dengan tema “Indonesia Makin Cakap Digital” yang bertujuan memberikan bekal kepada masyarakat untuk berinteraksi di ruang digital. Mampu menggunakan saja teknologi dipastikan belum cukup digunakan sebagai bekal untuk cakap berinteraksi di ruang digital.


Perlu banyak bekal atau sangu lain lagi khususnya untuk bisa merealisasikan empat pilar, digital skills, digital ethics, digital culture dan digital safety  yang telah dibangun oleh pemerintah melalui kemkominfo melalui gerakan nasional literasi digital sebelumnya. Kasus kebocoran data yang menjadi trending topic belum lama ini bisa menjadi gambaran bahwa “sangune ijek kurang okeh” bekalnya masih kurang banyak, khususnya di pilar digital safety.  Dilihat dari sisi praktisi bidang Informatika, sangu untuk cakap berinteraksi digital  yang bisa memenuhi 4 pilar tersebut akan memerlukan banyak pengetahuan. Data yang tersimpan dalam bentuk digital hanya merupakan bagian dari sistem yang kompleks.  Dalam teori dalam pengembangan sistem informasi, paling tidak ada 5 komponen dalam sistem informasi, hardware, software, prosedur, data dan manusia. Lima komponen tersebut saling berinteraksi dan masing-masing memiliki peran, termasuk didalamnya dalam masalah keamanan data.


Kasus kebocoran 279 juta record data beberapa waktu yang lalu bisa terjadi karena gabungan kelemahan dari beberapa komponen penyusun sistem informasi tersebut. Adanya kelemahan teknis, misal di faktor hardware yang mengharuskan diganti karena usia atau kapasitas misal pada perangkat keras penyimpan data/hardisk. Jika ada kelemahan prosedur dalam pergantian tersebut, misal karena kelalaian atau kesengajaan dari manusia/pengguna bisa menjadi pemicu kebocoran data. Belum adanya prosedur baku dalam proses backup dari software manajeman basi data dengan memanfaatkan celah kemanan di sisi jaringan merupakan contoh lain skenario penyebab kebocoran data dari suatu sistem. Berbagai skenario lain yang menjadi penyebab suatu  kebocoran data masih banyak dimungkinkan. Tugas dari tim yang bekerja dalam contingency planning untuk bisa memastikan darimana datangnya kebocoran,  menghentikan kebocoran dan memastikan tidak terulang kembali.


Salah satu bagian penting khususnya dalam pengamanan dalam teknologi digital adalah memahami bagaimana proses yang terjadi. Sebagai contoh sederhana banyak yang belum mengetahui bahwa suatu obyek jika sudah dalam bentuk data digital maka data tersebut akan mudah disimpan, diubah, dipindah dan dimodifikasi. Terlebih adanya faktor kemudahan berbagai perangkat keras seperti handphone sebagai alat untuk mengubah berbagai obyek, misal gambar atau suara ke bentuk digital. Perlu adanya pemahaman bagaimana data digital terbentuk, tersimpan dan terkirim akan sangat diperlukan, khususnya untuk bisa mengamankan data digital tersebut. Sehingga melek digital saja tidak cukup, perlu sangu atau bekal untuk terus mampu melek dan cakap di era digital ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membuat Web Directory dengan Drupal

Membandingkan Kecepatan Web PT di Yogyakarta

Migrasi data bocor dari CSV ke PostgreSQL